|
Ustdh. Dewi Mahirotunnisa, S.Pd..I
Disampaikan dalam tausiyah morning, 11022016 |
Kata Aa’ Gym, “
Lidah adalah amanah”, maka bila kita membicarakan amanah berarti
apa yang saat ini kita miliki akan diminta pertanggung jawaban
nantinya. Karena lidah adalah titipa Allah, dan setiap titipan
haruslah dijaga dengan baik haruslah dijaga dengan baik agar tidak
lecet ketika dikembalikan pada pemilikNya. Sebab apapun yang telah
keluar dari lidah tidak akan mampu ditarik kembali. Bahkan mungkin
banyaknya dosa dikandung badan selama ini lahir dari lidah kita.
Mungkin kita pernah berbicara seenaknya, tapi kita tidak pernah
berfikir apakah lawan bicara kita terluka ataukah tidak. Mungkin
niatnya bercanda tapi tanpa kita sadari hati telah terlukai, bahwa
ucapan yang keluar dari lidah ternyata lebih tajam dari anak panah.
Kalau lah panah itu tertancap dalam-dalam di pikiran dan hati, maka
mencabutnya akan semakin sulit. Dan misalnya berhasil mencabutnya,
jangan lupa bahwa bekas lubang yang tertancap akan terus membekas
selamanya.
Marilah kita merenung
sejenak, mungkin saja orang-orang yang kita sayangi selama ini pergi
karena kita tidak mampu menjaga ucapan. Begitu banyak persahabatan
yang kandas ditengah jalan disebabkan oleh lisan yang tak terjaga.
Bayangkan seberapa sering lidah kita menjadi lebiuh tajam
mengiris-iris hati hingga berdarah karena pahitnya ucapan. Mungkin
niatnya bercanda, tapi siapa sangka sensitive manusia itu
berbeda-beda. Sepatah dua patah kata seakan mengunus dengan kejamdan
meninggalkan luka. Begitu banyak orang hebat tergelincir akibat salah
berkata. Begitu banyak peperangan terjadi akibat lisan yang terucap.
Kualitas diri seseorang bisa diukur dari
kemampuannya menjaga lidah. Orang-orang beriman tentu akan
berhati-hati dalam menggunakan lidahnya. "Wahai orang-orang
beriman takutlah kalian pada Allah dan berkatalah dengan kata-kata
yang benar." (QS Al-Ahzab:70). Sementara itu, Rasulullah saw
bersabda, "Siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir, maka
hendaklah dia berkata baik atau diam". (HR Bukhari No. 6089 dan
imam muslim no. 46 dari abu hurairah).
Bahkan Al-Imam asy-syafi’I juga mengatakan,
‘apabila dia ingin berbicara hendakalah dipikirkan terlebih dahulu.
Bila jelas maslahahnya maka berbicaralah. Jika ragu, janganlah dia
berbicara hingga tampak maslahatnya.’ (Al Adzkar hlm. 284)
Nabi
Muhammad saw termasuk orang yang sangat jarang berbicara. Namun,
sekalinya berbicara, isi pembicaraannya bisa dipastikan kebenarannya.
Bobot ucapan Rasulullah sangat tinggi, seolah tiap kata yang terucap
adalah butir-butir mutiara yang cemerlang. Indah, berharga, bermutu,
dan monumental. Ucapan Rasulullah saw menembus hati, menggugah
kesadaran, menghujam dalam jiwa, dan mengubah perilaku orang (atas
izin Allah). Bukan saja karena lisan Rasulullah dibimbing Allah dan
posisinya sebagai penyampai wahyu, di mana ucapan-ucapan darinya
menjadi dasar hukum. Lebih dari itu, Rasulullah sejak kecil sudah
dikenal sebagai Al-Amin, tidak pernah berkata dusta walau sekali
saja. Investasi moral ini tentu sangat mempengaruhi kualitas
ucapannya.Dalam sebuah kitab ada keterangan menarik. Disebutkan ada
empat jenis manusia diukur dari kualitas pembicaraannya.
Pertama,
orang yang berkualitas tinggi. Kalau dia berbicara, isinya sarat
dengan hikmah, ide, gagasan, solusi, ilmu, dzikir, dan sebagainya.
Orang seperti ini pembicaraannya bermanfaat bagi dirinya sendiri,
juga bagi orang lain yang mendengarkan. Jika dia diajak berbicara
sekalipun ngobrol, ujungnya adalah manfaat.
Ketika
disodorkan padanya keluhan tentang krisis, dengan tangkas dia
menjawab, "Krisis adalah peluang bagi kita untuk mengevaluasi
kekurangan yang ada. Dengan krisis, siapa tahu kita akan lebih
kreatif? Kita bisa mencari celah-celah peluang inovasi. Pokoknya
jangan putus asa, semangat terus!" Siapa saja yang biasa
berbicara tentang solusi, gagasan, hikmah, dan hal-hal serupa itu,
insya Allah dia adalah manusia yang berkualitas.
Kedua,
orang yang biasa-biasa saja. Ciri orang seperti ini adalah selalu
sibuk menceritakan peristiwa. Melihat ada kereta api terguling, dia
berkomentar ribut sekali. Seolah dirinya yang kelindes kereta. Ketika
bertemu seorang artis, terus dicerita-ceritakan tiada henti. Pokoknya
ada apa saja dikomentari. Dia seperti juru bicara yang wajib
berkomentar kapan pun ada peristiwa. Tidak peduli peristiwa layak dia
komentari atau tidak.
Ini
tipe manusia tukang cerita peristiwa. Prinsip yang dia pegang:
"Pokoknya bunyi!" Tidak ada masalah dengan peristiwa. Jika
melalui itu semua kita bisa memungut hikmah yang sebaik-baiknya,
insya Allah peristiwa bermanfaat. Namun, jika dari
peristiwa-peristiwa itu tidak ada yang dituju kecuali menunggu sampai
mulut lelah sendiri, ini tentu kesia-siaan.
Ketiga,
orang rendahan. Cirinya kalau berbicara isinya hanya mengeluh,
mencela, atau menghina. Apa saja bisa jadi bahan keluhan. Ketika
kepadanya disodorkan makanan, jurus keluhannya segera berhamburan.
Terus saja makanan dikeluhkan, walau kenyataannya semua akhirnya
habis juga.
Mengeluh
dan mencela, itu hari-hari orang rendahan. Seolah tiada hari berlalu
tanpa keluh-kesah. Ketika turun hujan, hujan segera dicaci. "Ohh,
hujan melulu, di mana-mana becek. Jemuran nggak kering-kering."
Ketika di jalanan macet, mengeluh. Ketika ada lampu merah, mengeluh.
Ketika ada polisi, mengeluh. Ketika ada orang meminta-minta,
mengeluh. Dan seterusnya. Seolah tiada hari berlalu tanpa
keluh-kesah. Alangkah menderita hidup orang yang dipenjara oleh
keluh-kesah. Dia tidak bisa membedakan mana nikmat dan mana musibah.
Seluruh lembar hidupnya dimaknai sebagai kesusahan, sehingga layak
dikeluhkan.
Keempat,
orang yang dangkal. Adalah mereka yang semua pembicaraannya tidak
keluar dari menyebut-nyebut kehebatan dirinya, jasa-jasanya,
kebaikan-kebaikannya. Padahal hidup ini adalah pengabdian untuk
Allah. Mengapa harus kita membanggakan apa yang Allah titipkan pada
kita?
Orang-orang
dangkal ini akan terus berbicara tiada henti. Tak lupa dia selalu
menyelipkan kata-kata kesombongan dan membanggakan diri
Orang-orang
dangkal tiada bosan mengekspose diri, menyebut jasa, kebaikan, dan
prestasinya. Dia selalu ingin tampak menonjol dan mendominasi. Jika
ada orang lain yang secara wajar tampak lebih baik, hatinya
teriris-iris, tidak rela, dan sangat berharap orang itu akan segera
celaka. Inilah ilmu gelas kosong. Gelas kosong, maunya diisi terus.
Orang yang kosong dari harga diri, inginnya minta dihargai terus.
Kita harus berhati-hati dalam berbicara. Harus kita sadari bahwa
berbicara itu dibatasi oleh etika-etika. Hendaklah kita ada di atas
rel yang benar. Jangan sampai kita jatuh dalam apa-apa yang Allah
larang.
Dalam
berbicara kita jangan bergunjing (ghibah). Bergunjing adalah
perbuatan yang ringan, bahkan bagi sebagian orang mungkin dianggap
mengasyikkan. Namun, jika dilakukan dengan sengaja, apalagi dengan
kesadaran penuh dan tekad menggebu, bergunjing bisa menjadi dosa
besar.
"Dan janganlah kalian ber-ghibah (bergunjing)
sebagian kalian terhadap sebagian yang lain. Apakah suka
salah-seorang dari kalian makan daging bangkai saudaranya? Maka,
kalian tentu akan sangat jijik kepadanya. Dan takutlah kalian kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat." (QS
Al-Hujurat:12).
Namun
tak selamanya lidah membuat kita luka. Karena lidah juga mampu
menyatukan persahabatan yang dulu terpisahkan. Lidah juga mampu
merapatkan barisan walau sebelunya tak beraturan. Begitu hebatnya
lisan, jikalau ia digunakan untuk kebaikan. Maka siapapun yang i9ngin
pandai berbicara ada baiknya mengimbangi dengan ilmu agama. Karena
untuk menun tun dan menjaganya. Lisan adalah karunia Allah yang
besar. Sehingga ia harus disyukuri dengan sebenar-benarnya. Lidah
dipakai untuk sebuah kebaikan, menginspirasi orang banyak, saling
mengingatkan dalam kebaikan. Namun apabila ada sebuah perkara yang
tidak diketahui alangkah baiknya kita diam.
Lantas
jika ada sebuah peribahasa,”mulutmu harimaumu”. Mungkin ada
benarnya juga. Bukankah harimau adalah hewan pemakan daging? Jadi
kalau diibaratkan dengan “lidah mungkin dada beberapa kesamaaan,
sama-sama menusuk daging. Karena lidah mampu membuat pikiran dan hati
terluka. Namun kalaulah seekor harimau tidak akan mau memangsa
sesamanya. Tapi kalaulah lidah maka siapapun bias menjadi korbannya.
Yang pasti setiap ucapan yang kita keluarkan semua didengar oleh
Allah swt tak ada satu pun patah kata yang keluar dari mulut kita
kecuali akan dipertanggung jawabkan olehNya.
Kita
tidak bisa memaksa orang lain berbuat sesuai keinginan kita. Tapi
kita bisa memaksa diri kita untuk melakukan yang terbaik menyikapi
sikap orang lain. Banyak bicara tidak selalu buruk, yang buruk adalah
banyak berbicara kebatilan. Boleh-boleh saja kita produktif
berbicara, tapi harus proporsional. Jika kita berbicara hal yang
benar dan memang harus banyak, tentu kita lakukan hal itu.
Pembicaraan seringkali bergeser dari rel kebaikan ketika kita tidak
proporsional.
Semua orang harus menjaga lidahnya. Tidak peduli
apakah itu orang-orang yang dianggap ahli agama. Orang-orang yang
pandai membaca Al-Quran atau hadis, tidak otomatis pembicaraannya
telah terjaga. Di sini tetap dibutuhkan proses belajar, berlatih, dan
terus berjuang agar mutu kata-kata kita semakin meningkat.
Alangkah
ironi jika orang-orang yang ahli agama, namun tidak menjaga lisan.
Dia banyak menasihati umat dengan perilaku-perilaku yang baik, tapi
saat yang sama dia tidak melakukan hal itu. Jika orang-orang preman
berkata kasar, jorok, dan tak mengenai tata krama, orang masih
maklum. Namun, jika orang-orang alim yang melakukannya, tentu ini
adalah bencana serius.
Satu
langkah konkret untuk memulai upaya menjaga lisan adalah dengan mulai
mengurangi jumlah kata-kata. Makin sedikit bicara, makin tipis
peluang kesalahan. Sebaliknya makin banyak bicara, peluang
tergelincir lidah semakin lebar. Jika lidah kita telah meluncur tanpa
kendali, kehormatan kita seketika akan runtuh. Berbahagialah bagi
siapa yang bisa berkata dengan akhlak tinggi. Selalu berkata baik.
Jika tidak, cukup diam saja!
Saudaraku,
sadarilah bahwa lidah ini adalah amanah. Tiap-tiap kata yang terucap
darinya kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Jadikan
ucapan-ucapan kita adalah modal untuk mengundang keridhaan Allah.
Jangan jadikan kata-kata itu sebagai sebab datangnya murka dan
kebencian-Nya.
Alangkah
sagat beruntungnya orang yang mampu menahan diri dari kesia-siaan
dalam berkata-kata dan menggantinya dengan berdzikir kepada Allah.
Mulai sekarang ada baiknya kita berfikir dahulu sebelum berucap,
Karen a mana tahu apa yang akan kita ucapkan bias membawa mudhorot.
Tapi kalaulah itu baik menurut Allah dan RasulNya maka katakanlah
saja apa adanya. Diamlah jika kita tidak tahu, karena diam tidak akan
pernah salah.
Semoga
Allah SWT membimbing lisan kita untuk berucap mengikuti keteladanan
Rasulullah saw. Ucapan itu keluar dari lisan bagai untaian mutiara
yang sarat dengan kebenaran, berharga, bermutu, dan membawa maslahat
bagi siapa pun yang mendengarkannya. Amin. Wallahu a`lam bishshawab.